atau

»»  READMORE...

20 Maret 2012


 ANALISIS SURIYA SUTTA
oleh poniman
PENDAHULUAN
Suriya Sutta, Sattaka Nipata merupakan kotbah Buddha yang menyajikan tentang ketidak kekalan terhadap semua bentuk dan kehancuran alam semesta. Berikut ini merupakan beberapa bait kotbah pada bait pertama dan bait kedua yaitu:
”Bhikkhu, bentuk apapun tidak kekal, goyah, tidak tetap. Para bhikkhu janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk (sankhara), itu menjijikan, bebaskanlah diri kalian dari hal itu. Para bhikkhu, gunung Sineru, raja gunung-gunung yang panjangnya 84.000 yojana lebarnya 84.000 yojana, kakinya dalam lautan sedalam 84.000 yojana dan tingginya dari permukaan laut setinggi 84.000 yojana.”
”Bhikkhu, akan tiba suatu masa setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun, atau ratusan tahun, tidak ada hujan. Ketika tidak ada hujan, maka semua bibit tanaman seperti bibit sayuran, pohon-pohon penghasil obat, pohon-pohon palem, dan pohon-pohon besar di hutan menjadi layu, kering mati.”
Demikianlah para bhikkhu, bentuk apapun adalah tidak kekal, tidak abadi atau tak tetap. Janganlah kamu merasa puas dengan semua bentuk itu, itu menjijikan, bebaskanlah diri kalian dari hal itu.
Alam semesta akan mulai hancur terbakar sewaktu diakhir masa yang lama dengan munculnya matahari ketujuh, dengan gunung sineru sabagai raja gunung-gunung terbakar, menyala berkobar-kobar, dan menjadi seperti sebuah bola api yang berpijar, dan cahaya nyala kebakaran akan terlihat sampai di alam Brahma dan juga debu asap dari bumi dengan gunung sineru tertiup oleh angin sampai ke alam Brahma.
Sang Buddha dalam sutta ini juga menjelaskan tentang seorang guru agama yang bernama Sunetta yang jujur dan terbebas dari nafsu-nafsu indera, yang mempunyai ratusan murid, Sunetta ini mengajarkan tentang cara untuk mencapai kelahiran di alam Brahma. Bagi murid sunetta yang tidak menjalankan ajarannya dengan sungguh-sungguh, maka akan terlahir dialam Parinimitavasavatti, Tusita, Yama, Tavatimsa, dan Catummaharajika, terlahir sebagai Ksatriya, Brahmana, dan terlahir sebagai orang kaya. Kemudian Sunetta tidak mau terlahir di alam-alam yang dicapai oleh murid-muridnya, dan untuk mengatasinya Sunetta mengembangkan perasaan Cinta Kasih selama tujuh tahun, sehingga selama tujuh kappa Sunetta tidak terlahir kembali sebagai manusia, dan ia akan terlahir kembali di alam Brahma Abhassara, selanjutnya di alam Maha Brahma, sebagai Sakka di alam Tavatimsa, Raja Cakkavati yang jujur, bijaksana dan memiliki tujuh permata. Namun Sunetta belum terbebas dari dukkha yaitu; kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, keluh kesah, kesakitan, kesusahan dan putus asa.
Sunetta belum terbebas dari dukkha, disebabkan belum menyadari dan menembus empat Dhamma, yaitu; Ariya Sila, Ariya Samadhi, Ariya Panna, dan Ariya Vimutti. Karena hanya dengan cara ini seseorang dapat terbebas dari dukkha, dan tidak terlahir kembali. Kemudian dalam Suriya Sutta ini, pada akhir khotbah Sang Buddha mengatakan bahwa; ”Dhamma ini, yaitu Ariya Sila, Ariya Samadhi, Ariya Panna, dan Ariya Vimutti, telah disadari dan ditembus oleh petapa Gotama. Tathagata telah mengajarkan kepada para bhikkhu untuk merealisasikan dhamma, karena Sang Buddha adalah guru pelenyap dukkha, yang telah mencapai penerangan sempurna.
Kata-kata yang diungkapkan oleh Buddha diatas menunjukan bahwa alam semesta akan hancur sesuai yang diajarkan oleh Buddha mengenai segala yang bersyarat adalah tidak kekal,  dimana suatu proses pembentukan dan kehancuran alam semesta merupakan syarat dan sesuatu yang bersyarat adalah tidak kekal.






PEMBAHASAN
ANALISIS SURIYA SUTTA

A.  Alam Semesta
         Keberadaan alam semesta dengan segala isinya menurut ajaran Buddha adalah diatur oleh sebuah hukum universal yang berlaku disemua alam kehidupan (31 alam kehidupan), yaitu Dhammaniyama. Dhammaniyama adalah hukum yang bekerja dengan sendirinya, bekerja sebagai hukum sebab akibat atau hukum relativitas yang impersonal dan kekal. Dalam kekekalan ini dapat dilihat dari pernyataan Sang Buddha kepada para bhikkhu sebagai berikut; ”Para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia ini atau tidak, Dhammaniyama tetap ada.” (Dhammaniyama Sutta, Anguttara Nikaya 1).
         Dhammaniyama ini diuraikan menjadi lima hukum yaitu, Utu Niyama ialah (hukum universal yang mengatur tentang cuaca, temperatur, terbentuknya dan hancurnya buni, tata surya, membantu pertumbuhan manusia, binatang dan pohon, gempa bumi, dan fenomena alam semesta lainnya). Bija Niyama ialah (hukum universal yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan), Kamma Niyama ialah (hukum universal tentang kamma atau hukum perbuatan), Citta Niyama ialah (hukum universal tentang pikiran atau batin), dan Dhamma Niyama ialah (hukum universal tentang segala sesuatu yang tidak diatur oleh keempat Niyama). Seperti yang dinyatakan oleh Sang Buddha diatas bahwa Dhammaniyama tetap ada (kekal), sehingga dari muncul dan hancurnya alam semesta pun tetap ada.
         Alam semesta dalam Agganna Sutta dijelaskan bahwa terjadinya bumi dan manusia pada mulanya setelah alam semesta hancur, yang pada umumnya manusia terlahir di alam Abhassara (alam cahaya), yang hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup di dalam kemegahan yang hidup pada masa yang lama sekali. Pada waktu itu bumi semua terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang yang nampak, siang maupun malam belum ada dan laki-laki maupun wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja. Kemudian tanah dengan sarinya muncul keluar dari dalam air seperti bentuk-bentuk buih dipermukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah dan manis seperti madu lebah, mentega murni, dadi susu, kemudian diantara mahluk Abhassara yang serakah mencicipi sari tanah tersebut dengan jarinya, sehingga mahluk abhassara lainnya ikut mencicipinya, dan hal ini berlangsung sangat lama sekali. Mahluk tersebut lama-kelamaan kehilangan cahayanya dan matahari, bintang, bulan, serta siang dan malampun terjadi. Sari tanah yang manis seperti madu, dadi, mentega murni, kemudian berganti dengan tumbuhan yang menjalar dengan melalui proses yang sangat lama sekali dari tumbuhan menjalar tela tidak ada, kemudian berganti berbagai tumbuhan, setelah tumbuhan yang satu hilang karena mahluk abhassara ini memakannya kemudian tumbuh lagi yang berlangsung sangat lama sehingga tubuhnya menjadi padat dan jelas, ada yang tubuhnya terlihat jelak ada yang bagus. Sehingga pada suatu saat yang lama suatu proses terjadi, diantara mahluk ini telah melakukan hubungan kelamin, karena mahluk ini sudah terlihat bentuk tubuh laki-laki dan perempuan, sehingga timbul nafsu diantara mahluk ini. Demikianlah isi dari Agganna sutta secara singkat telah terjadinya manusia dan bumi.
         Suriya sutta yang berisikan mengenai penjelasan dari Buddha tentang kehancuran alam semesta dan juga mengenai tata surya yang berjumlah bermiliaran tata surya. Menurut Kitab Buddhavamsa, dalam satu masa dunia, yaitu sejak bumi tercipta hingga kehancurannya, dalam satu masa dunia ini terdapat lima Sammasambuddha (masa terbentuknya hingga kehancuran bumi). Buddha Gotama adalah Sammasambuddha yang keempat, jadi sebelum kiamat tidak akan terjadi di zaman ini. Dunia ini masih menunggu Buddha berikutnya yang diperhitungkan waktunya masih sangat lama yaitu Buddha Maitreya. Buddha Maitreya yang dikatakan sabagai Buddha yang terakhir, karena dalam Kitab Buddhavamsa dikatakan dalam satu masa dunia terdapat 5 Buddha, sehingga yang dimaksud terakhir adalah bukan berarti Buddha yang ke-5 adalah terakhir dari buddha yang akan datang dari bermilyaran tata surya ini, tetapi terakhir dari satu masa dunia (pembentukan dan kehancuran dari satu sistem tata surya ini).
         Dalam Abhibhu Sutta, Buddha menjelaskan mengenai alam semesta, bahwa ”sejauh bulan dan matahari bergerak dalam garis edarnya dan sejauh pancaran sinarnya mencapai segala arah, sejauh itulah luas sistem seribu tata surya alam semesta. Didalamnya terdapat seribu bulan, seribu matahari, seribu poros gunung sineru dari segala gunung, seribu bumi jambudipa, seribu Aparagoyana di barat, seribu Uttarakuru di utara, seribu Pubbavideha di timur, empat ribu samudera raya, empat ribu Maharaja, seribu surga Catummaharajika, seribu surga Tavatimsa, seribu surga Yama, seribu surga Tusita, seribu surga Nimmanarati, seribu surga parinimmitavasavatti, dan seribu alam Brahma.
         Alam semesta didalam Avatamsaka Sutra juga menjelaskan bahwa beberapa galaksi sangat luas bagai samudera, berputar-putar seperti roda raksasa yang  menggelinding, berputar-putar dalam berbagai cara, beberapa dari dunia-dunia bentuknya menyerupai roda yang menyala-nyala.
Agama Buddha merupakan agama yang sejalan dengan ilmu pengetahuan yaitu salah satunya mengenai alam semesta yang dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus pada tahun 1473-1543 dalam bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium (perputaran badan-badan angkasa) bahwa bumi berputar pada sumbunya, bumi beserta planet lain mengelilingi matahari, bulan mengelilingi bumi. Kemudian teori ini didukung oleh Galileo berkat teleskopnya bahwa matahari pusat tata-surya. menurut ilmu astronomi, matahari dan tatasurya lain yang nampak dari bumi juga disebut bintang (bintang adalah benda bercahaya di angkasa selain bulan dan matahari) bumi, matahari dan planet-planet yang lain disebut satu tata surya. Sekelompok besar matahari yang berjumlah sangat banyak, disebut Galaksi, dan tempat gugus kelompok matahari yang dihuni manusia disebut galaksi Bimasakti (Milky way),dan galaksi Bimasakti berbentuk seperti cakram (spiral) dan jarak tata surya kira-kira berada pada jarak tiga perempat radius dari pusat galaksi.
         Menurut pendapat para ilmuwan, diperkirakan usia alam semesta yang dihuni manusia sekarang kurang lebih empat setengah milyar tahun, usia alam semesta ini cukup banyak berbeda dengan teori genesis yang menganggap bahwa umur alam semesta diciptakan enam ribu tahun yang lalu. Untuk mengukur usia bumi digunakan tehnik radio isotop unsur Uranium, dan uranium tertua yang ditemukan berusia 4,5 milyar tahun. Kendala demikian juga ada dalam memperhitungkan umur alam semesta yang didasarkan pada pengukuran spektrum gelombang cahaya (berdasarkan spektrum redshift atau geser merah) atau gelombang elektro magnetik yang sampai ke bumi, hal ini membuktikan bahwa perhitungan para ahli hanya berdasarkan apa yang ada, dan yang diterima oleh bumi. Pandangan dan teori mengenai alam semesta berubah seiring dengan kemajuan teknologi, setelah penemuan radio teleskop, terlebih setelah diluncurkannya teleskop hubble (teleskop yang ditempatkan di angkasa luar sehingga tidak terhalang oleh atmosfir bumi) para ahli menganggap bahwa benda luar angkasa terjauh adalah Quasar (Quasi Stellar Radio).
         Metode yang digunakan Sang Buddha dan para Siswanya sangat berbeda, yaitu dengan abhinna (kemampuan adi kodrati). “Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari napsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tak dapat digoncangkan, meningkatkan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan mengenai pubbenivasanussati nana”. (D.I,81). (Pubbenivasanussatinana yaitu kemampuan untuk mengingat kelahiran yang lampau), sehingga siklus pembentukan dan kehancuran bumi yang terjadi berulang-ulang dapat diketahui.
A.    Kehancuran Alam Semesta
         Usia alam semesta menurut Suriya Sutta, bahwa umur rata-rata manusia akan terus merosot menjadi sepuluh tahun, kemudian naik kembali sampai umur manusia rata-rata tidak terhitung dan kemudian turun lagi. Maka pada akhir masa dunia (kehancuran bumi) munculah suatu masa dimana hujan tak perah lagi turun, setelah lama berlalu demikian, maka munculah matahari kedua, pada kemunculan matahari kedua maka tak dapat dibedakan antara siang dan malam, bumi merasakan terik matahari tanpa henti.
         Berdasarkan ramalan munculnya matahari kedua menurut Suriya Sutta, ada dua matahari yang saling mengorbit satu sama lain dalam satu sistim tata surya di Galaksi Bimasakti atau di Galaksi lain, bumi terus-menerus dipanggang oleh sinar matahari (pada keadaan kita sekarang ini bumi masih berhiaskan awan dan uap air, tetapi pada periode kehancuran  bumi sama sekali tidak berawan, langit bersih). Karena demikian panas maka air dari seluruh sungai, kecuali dari sungai sungai besar menguap yang berlangsung sangat lama.
         Muncullah matahari ketiga, ketika muncul matahari ketiga, sungai-sungai yang besar juga ikut kering menguap dan juga yang berlangsung lama sekali.
Setelah itu muncullah matahari yang keempat, setelah matahari yang keempat muncul, danau-danau yang menjadi sumber air di Himalaya (yang terkenal dengan salju abadinya juga ikut kering menguap).
         Setelah itu lama sekali berlalu, maka muncullah matahari kelima, pada waktu kemunculan matahari kelima maka air di samudera ikut menguap sehingga air yang tersisa tidak cukup untuk membasahi satu ruas jari dan berlangsung lama sekali, kemudian setelah itu muncullah matahari keenam, pada kemunculan matahari keenam ini semua cairan di tata-surya menguap, hal ini bukan hanya terjadi di tata-surya ini, semua cairan pada seratus milyar tata-surya yang lain juga ikut menguap. Kemudian muncullah matahari ketujuh, pada kemunculan matahari ketujuh tata surya beserta dengan seratus milyar tata surya yang lain terbakar, hingga habis total (seperti api yang membakar lemak susu atau ghee) tanpa meninggalkan debu.

               Bintang biner adalah hasil penemuan para ahli astronomi yang nampak banyak di angkasa, yang merupakan setengah dari galaksi bima sakti, yang merupakan sistem yang terdiri dari dua matahari sampai enam matahari yang saling mengorbit, yang dikenal dengan Sirius yaitu bintang yang nampaknya paling terang di Angkasa. Bintang Biner terbentuk disebabkan oleh gaya gravitasi pusat galaksi yang menarik tata-surya semakin mendekat satu sama lain. Apabila dua tata surya terlalu dekat satu sama lain, maka gravitasi kedua tata surya akan saling tarik-menarik dan akhirnya menyebabkan kedua matahari saling mengorbit. Sesuai dengan hukum Newton mengenai gaya tarik-menarik antara dua massa (hukum gravitasi universal), atau teori relativitas umum dari Einstein, dan terbentuklah sistem biner.
         Setelah semua tata surya terlalu berdekatan satu sama lainnya, maka panas yang ditimbulkannya amat luar biasa dan mengakibatkan semua materi yang berada di seluruh galaksi terbakar termasuk gas dan debu yang mengisi seluruh celah dan ruang yang berada di galaksi, dan kebakaran meluas sampai ke bagian terluar yang membungkus galaksi dan tidak nampak oleh mata (Corona Galaxi), sehingga dari jauh nampak seperti Ellips, yang disebut sebagai Ellips Galaxy, galaksi yang terbesar dan galaksi yang terkecil adalah ellips galaksi yang memperlihatkan fase-fase dalam pembakaran galaksi (galaksi ellips tidak memiliki gas dan debu yang merupakan materi pembentuk tatasurya, oleh karena itu para ahli menyimpulkan bahwa fase terbentuknya galaksi telah lama berlalu).
         Bumi yang ditempati oleh manusia, dalam Mahaparinibbana Sutta bila ditinjau dari delapan sebab gempa bumi, maka bumi yang luas ini terbentuk dari zat cair dan zat cair terbentuk dari udara, dan udara ada di angkasa. Dalam Abhidhammathasangaha disebutkan bahwa yang dimaksud dengan unsur api, angin, air dan tanah (mahabhuta 4) yaitu:
a.       Pathavi-dhatua adalah unsur tanah berarti unsur padat atau juga berarti sifat pengembangan, keras dan lembut juga termasuk unsur tanah, yang merupakan unsur dasar dari materi, seperti kuku, batu, pohon dan lain-lain.
b.      Unsur air berarti unsur kohesi (sifat mengikat) jadi segala sesuatu yang bersifat kohesi atau adhesi adalah termasuk unsur air dan bila dalam suatu benda apo-dhatu (air) jumlahnya lebih banyak dari unsur padat (pathavi-dhatu).
c.       Unsur api (tejo-dhatu) juga berarti unsur temperatur, yang berarti bahwa panas dan dingin juga termasuk unsur api yang memiliki kekuatan untuk membakar dan menjadikan masaknya sifat-sifat materi.
d.      Unsur angin (vayo-dhatu) juga berarti unsur gerak, getaran, juga termasuk unsur tekanan, bila dijabarkan secara fisika adalah juga berarti unsur gaya dan juga dapat menghamburkan segala sesuatu.



     






















PENUTUP

A.    Simpulan
Perkembangan ilmu teknologi merupakan salah satu bentuk perkembangan pemikiran manusia yang semakin lama semakin canggih, tetapi dibalik kejeniusan manusia itu dapat menjadi sebuah bom waktu yang dapat membuat kehancuran bagi bumi ini dan kehidupan manusia itu sendiri, karena tidak didasari dengan kebijaksanaan, dan walaupun banyak manusia yang jenius dimasa sekarang, tetapi kekotoran batin semakin besar. Suriya Sutta merupakan khotbah Buddha mengenai alam semesta dan kehancurannya. Dalam Suriya Sutta ini dijelaskan bahwa semua bentuk adalah tidak kekal sehingga janganlah merasa puas dengan segala bentuk yang ada. Pada suatu masa dimana moral manusia semakin merosot sehingga jangka usia manusia berumur 10 tahun, kemudian naik kembali sampai umur manusia rata-rata tidak terhitung dan kemudian turun lagi. Maka pada akhir masa dunia (kehancuran bumi) munculah suatu masa dimana hujan tak pemah lagi turun, setelah lama berlalu demikian, maka munculah matahari kedua, pada kemunculan matahari kedua maka tak dapat dibedakan antara siang dan malam, bumi merasakan terik matahari tanpa henti, sehingga sampai timbulnya matarhari ke tujuh yang menimbulkan bumi terbakar tanpa debu yang tersisa sampai terlihat di alam brahma. Kehancuran bumi juga disebabkan karena moral manusia yang semakin lama semakin menurun, karena perbuatan jahat yang sering dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Panjika. 2005. Abhidhammatthasangaha. Tanggerang: Vihara Padumuttara.

Wowor, Cornelis. 2004. Hukum Kamma Buddhis. Jakarta: CV Nitra Kencana Buana.

Wijaya Mukti, Krishnanda. 2003. Wacana Buddha Dhamma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan.

www.kosmologi dalam agama Buddha. Diakses: 15 Juni 2009, 19.15 WIB. 
www.ponindraponiman.co.cc

23 Desember 2011

VINAYA BHIKKHU 227

227 VINAYA BHIKKU
OLEH PONIMAN
 
Berikut Ini Merupakan Vinaya Bagi Para Bhikkhu Yang Berjumlah 227 Peraturan
yang terbagi kedalam delapan kelompok besar, berikut pembagiannya:

1. Empat Parajika.
2. Tiga belas Sanghadisesa.
3. Tiga puluh Nissaggiya-pacittiya.
4. Dua Aniyata.
5. Sembilan puluh dua Pacittiya.
6. Empat Patidesaniya.
7. Tujuh puluh lima Sekhiyavatta.
8. Tujuh Adhikarana Samatha

serta Berikut ini  Merupakan Penjabarannya
EMPAT PARAJIKA.

1. Seorang Bhikkhu yang melakukan hubungan sex maka ia melakukan Parajika.
2. Seorang Bhikkhu yang mengambil sesuatu yang belum diberikan oleh yang mempunyai/pemilik dan mempunyai nilai seharga 5 masaka atau lebih, maka ia melakukan Parajika.
3. Seorang Bhikkhu yang secara sengaja membunuh seorang manusia/ menyebabkan seorang manusia terbunuh, maka ia melakukan Parajika.
4. Seorang Bhikkhu yang menyombongkan Uttarimanusadhamma (tingkatan perkembangan bathin, yang lebih tinggi daripada tingkat manusia biasa) yang sebenarnya belum dicapainya, melanggar Parajika.

TIGA BELAS SANGHADISESA.

1. Seorang Bhikkhu yang secara sengaja menyebabkan dirinya mengeluarkan air mani (rancap), melakukan Sanghadisesa.
2. Seorang bhikkhu yang terangsang birahinya, mengucapkan kata-kata yang merayu dan tidak sopan di hadapan seorang wanita, melakukan Sanghadisesa.
3. Seorang Bhikkhu yang terangsang nafsu birahinya menyentuh tubuh seorang wanita, melakukan Sanghadisesa.
4. Seorang Bhikkhu yang terangsang nafsu birahinya, mengucapkan kata-kata secara menggoda bahwa seorang wanita seharusnya menikmati hubungan kelamin/sex dengan seorang laki-laki, melakukan Sanghadisesa.
5. Seorang Bhikkhu yang memainkan peranan sebagai tukang mencarikan jodoh yang membuat seorang pria dan seorang wanita menjadi suami istri, melakukan Sanghadisesa.
6. Jika seorang Bhikkhu sedang mendirikan gubuk, yang dari tanah hat/ campuran semen, dan yang ditempatinya sendiri tanpa ada penghuni lain, harus memenuhi praturan-peraturan tertentu seperti berikut : Panjang gubuk = 12 ukuran segitiga dan lebarnya harus = 7 Sugata, dan letak gubuk tersebut harus mendapat persetujuan dari Sangha akan letaknya. Jika lebih luas dari peraturan tersebut tadi, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
7. Jika gubuk tadi dibangun dengan seorang dayaka yang menjadi pemiliknya, ukurannya dapat dibuat lebih besar dari peraturan tersebut di atas, tetapi letaknya harus mendapat persetujuan dari Sangha terlebih dahulu. Jika Sangha tidak dimintai persetujuan mengenai letaknya, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
8. Jika seorang Bhikkhu yang marah dan jengkel secara sengaja menuduh Bhikkhu lain melakukan pelanggaran Parajika apatti, yang tidak berdasarkan atas bukti dan kenyataan, maka ia melakukan Sanghadisesa.
9. Jika seorang Bhikkhu yang merasa marah dan jengkel secara dengan alasan yang dibuat-buat maupun dengan tipu muslihat, menuduh Bhikkhu lain melakukan pelanggaran Parajika appati, maka Bhikkhu tersebut melakukan Sanghadisesa.
10. Jika seorang Bhikkhu memecah belah Sangha dan menimbulkan pertentangan dalam Sangha walaupun Bhikkhu-bhikkhu lain melarang berbuat demikian, tetapi Bhikkhu tersebut tidak mau mematuhi, maka Sangha harus mengumumkan KAMMA VACA dengan maksud untuk memperingatkan Bhikkhu tersebut, supaya menghentikan sikap-sikapnya itu, bila Bhikkhu tersebut tetap tidak mematuhi, dia melakukan Sanghadisesa.
11. Jika seorang Bhikkhu mengikuti sikap seorang Bhikkhu yang berusaha memecah belah Sangha tadi (seperti nomor 10) dan walaupun Bhikkhu lain telah melarangnya tapi Bhikkhu itu tak mau mematuhinya, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA, dengan maksud memperingatkannya supaya menghentikan sikap-sikapnya itu, jika ia tetap tidak mau menghentikan sikapnya, maka ia melakukan Sanghadisesa.
12. Jika seorang Bhikkhu sukar diajar dan dibetulkan sikapnya yang salah dan Bhikkhu-bhikkhu yang lain telah memperingatkannya bahwa seharusnya dia jangan seperti itu tetapi Bhikkhu itu tidak mau mematuhi, maka Sangha harus mengumumkan KAMMAVACA dengan maksud memperingatkannya supaya menghentikan sikapnya itu, bila Bhikkhu tersebut tetap tidak mau mematuhi maka ia melakukan Sanghadisesa.
13. Jika seorang Bhikkhu memuji dan menyinggung-nyinggung orang awam dengan maksud untuk menarik keuntungan dari mereka, dan Bhikkhu lain mengusirnya dari tempat tinggalnya, dan sebaliknya lalu mengkritik mereka, dan walaupun seorang Bhikkhu lain memperingatkannya agar supaya dia tak berbuat demikian, tetapi dia tak mematuhinya, maka Sangha harus mengumumkan Kammavaca dengan maksud untuk memperingatkan Bhikkhu tersebut, jika Bhikkhu tersebut tetap tidak mau mematuhi maka ia melakukan Sanghadisesa.

DUA ANIYATA.

1. Jika seorang Bhikkhu duduk dengan seorang wanita di suatu tempat yang terpencil (dimana mereka mengira tak dapat terlihat) dan seorang umat biasa yang dapat dipercaya mengatakan Bhikkhu tersebut telah melakukan Parajika, Sanghadisesa atau Pacittiya dan bhikkhu tersebut membenarkan pernyataan tersebut, maka hal tersebut harus diselesaikan sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan menurut golongan pelanggaran peraturan yang telah disebutkan oleh umat awam tadi.
2. Jika seorang Bhikkhu duduk berdua dengan seorang wanita di suatu tempat yang terpencil (dimana ia mengira tak dapat terlihat) atau tidak memungkinkan orang lain mendengarkan pembicaraannya. Dan seorang umat awam yang dapat dipercaya mengatakan bahwa bhikkhu tersebut telah melakukan Parajika, Sanghadisesa atau Pacittiya dan Bhikkhu itu membenarkan pula pernyataan tersebut maka persoalan ini harus diselesaikan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan atau menurut golongan pelanggaran peraturan yang disebutkan di atas/yang disebutkan umat awam tadi.

TIGA PULUH NISAGGIYA PACITTIYA.

Terbagi atas tiga kelompok yang masing-masing terdiri atas 10 peraturan.

KELOMPOK PERTAMA : CIVARAVAGGA - Mengenai Jubah.

1. Seorang Bhikkhu diperbolehkan menyimpan jubah baru/ekstra paling lama sepuluh hari, jika menyimpan jubah tersebut lebih dari sepuluh hari, maka ia melakukan pelanggaran Nissaggiya Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu terpisahkan dari jubah utamanya selama 1 malam, kecuali telah memperoleh izin dari Sangha, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
3. Jika kain yang dimiliki seorang Bhikkhu untuk membuat sebuah jubah tidaklah cukup, dan jika ia mengharap kain tambahan lagi, dia boleh menyimpan kain yang dimilikinya itu satu bulan lamanya, jika ia menyimpan kain tersebut lebih dari satu bulan, sekalipun ia masih berharap kain tambahan, dia tetap melakukan Nissaggiya Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu menyuruh seorang Bhikkhuni yang tidak ada hubungan kekeluargaan dengannya untuk mencucikan/mencelup jubahnya, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu menerima jubah dari tangan seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya kecuali atas dasar tukar menukar, maka ia melakukan Nissaggiya Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu meminta dan memperoleh sebuah jubah dari umat biasa yang bukan keluarganya ataupun tidak memberikan pavarana dia melakukan Nissagiya Pacittiya.
7. Pavarana : "Suatu istilah yang digunakan dalam Sangha, yang berarti seorang umat biasa telah menawarkan/mengundang seorang Bhikkhu untuk meminta kepadanya kebutuhan apa saja yang diinginkan kecuali umat biasa memberikan batas tawaran tersebut. Berlaku sebulan seperti yang tertulis dalam peraturan Pacittiya no. 7 di dalam acelaka vagga.
Bila memperoleh Pavarana seperti ini, seorang Bhikkhu boleh meminta paling banyak satu jubah dalam (antaravasaka) dan sebuah jubah luar (Otarasangha). Jika ia minta/memperoleh lebih banyak dari ketentuan itu, maka ia melakukan Nissagiya Pacittiya.
8. Jika seorang umat biasa yang bukan keluarga dan belum memberikan Pavarana mengatakan bahwa ia merencanakan memberikan jubah kepada seorang Bhikkhu tertentu, dan setelah Bhikkhu tersebut mengetahui, lalu meminta umat tersebut memberikan jubah yang bagus dan lebih mahal daripada yang direncanakan oleh umat tersebut, dan memberikannya kepada Bhikkhu itu, sehingga Bhikkhu tersebut memperolehnya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
9. Jika beberapa umat biasa, yang bukan sanak keluarga maupun belum memberikan Pavarana dan telah merencanakan memberikan sebuah jubah kepada seorang Bhikkhu dan jika Bhikkhu tersebut mengatakan sesuatu yang menyebabkan mereka bersama-sama pergi membeli jubah untuk diberikan kepada Bhikkhu tersebut, apabila permintan itu dipenuhi, maka Bhikkhu tersebut melakukan Nissaggiya Pacittiya.
10. Jika seorang umat mengirim uang dengan maksud untuk membeli jubah bagi seorang Bhikkhu, dan ia ingin mengetahui siapa yang bertugas sebagai pembantu Bhikkhu (Veyyavacca) dan bila Bhikkhu tersebut belum membutuhkan sebuah jubah dia harus menunjuk pembantunya dengan mengatakan: "Orang ini adalah sebagai pembantu Bhikkhu di Vihara ini." Kemudian umat tersebut memberikan penjelasan kepada pembantu tersebut mengenai tugasnya dan juga memberitahukan kepada Bhikkhu yang bersangkutan, bila membutuhkan jubah baru dapat memintanya kepada pembantu tersebut. Bila Bhikkhu yang bersangkutan telah meminta sebanyak tiga kali dan masih belum juga menerima dari pembantu tersebut walau permintaannya tersebut sampai enam kali, dan setelah meminta lebih dari itu ia lalu baru mendapatkannya, maka ia telah melakukan Nissaggiya Pacittiya.

KELOMPOK KE DUA: KOSIYAVAGGA - Mengenai Kain Sutra.

1. Jika seorang Bhikkhu menerima sebuah permadani yang terbuat dari bulu domba (wol) yang bercampur dengan kain sutra, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu menerima permadani yang keseluruhannya terbuat dari wol berwarna hitam, maka ia melakukan Nissagiya Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu akan membuat sebuah permadani (kain untuk duduk bersila) yang baru, dia harus mempergunakan sebagian wol putih sebagian wol merah dan dua bagian wol hitam. Dan jika ia mempergunakan lebih dari dua bagian wol hitam, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
4. Seorang Bhikkhu yang telah menerima sebuah permadani baru harus mempergunakannya selama enam tahun, apabila ia memakai permadani tersebut lebih dari enam tahun, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu akan menerima permadani lain yang baru (setelah enam tahun) dia harus mengambil sebagian permadani yang lama dan menggabungkannya pada permadani yang baru dengan maksud untuk mengurangi keindahan permadani yang baru itu, jika ia tidak menjalankannya maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu sedang bepergian dan di pedalaman seorang memberikan kain wol dan ia menginginkannya dan menerimanya, jika tak ada seorangpun yang membawakannya dia boleh membawanya sejauh 3 yojana (15 Km), jika ia membawa sendiri lebih dari 3 yojana maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu menyuruh seorang Bhikkhuni yang tak mempunyai hubungan keluarga dengannya, mencuci, mencelup, atau menggosok kain wol, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu menerima uang/emas/perak dengan tangannya sendiri atau menyuruh orang lain menerimanya, atau merasa gembira dengan uang yang disimpannya untuk Bhikkhu tersebut, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu terlibat dalam jual beli dengan mempergunakan uang (apa saja yang dapat dipergunakan dengan uang) maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu mengadakan tukar menukar barang tanpa mempergunakan uang, dengan orang awam, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.


KELOMPOK KE TIGA : PATTAVAGGA - Mengenai Mangkok/bowl/Pata.

1. Sebuah mangkok yang disimpan oleh seorang Bhikkhu, di samping mangkok yang telah ditetapkannya, untuk dipergunakan selama hidup (di adhittana) disebut bowl atau mangkok extra, seorang Bhikkhu dapat menyimpannya selama 10 hari, dan bila ia menyimpannya lebih dari 10 hari, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu memiliki sebuah mangkok yang telah retak, dan tak perlu diperbaiki lagi dengan keseluruhan retak yang lebarnya kurang dari 10 jari, kemudian dia meminta sebuah mangkok yang baru dari seorang umat biasa yang tak mempunyai hubungan keluarga dengannya dan belum memberikan Pivarana, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
3. Bila seorang Bhikkhu telah menerima secara langsung dengan tangannya, salah satu dari lima macam obat-obatan .... (ghee) mentega, minyak, madu dan sirup boleh menyimpannya untuk dipergunakan, paling lama 7 hari, jika dia menyimpannya lebih dari 7 hari, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
4. Bila masih ada 1 bulan musim panas, seorang Bhikkhu boleh mencari sebuah jubah untuk mandi yang dipakai untuk musim hujan, dalam jangka waktu setengah bulan musim panas, diperbolehkan untuk mandi atau mempergunakannya. Jika menggunakan sebelum waktunya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu telah memberikan sebuah jubah kepada seorang Bhikkhu lain, kemudian karena merasa marah lalu memintanya kembali/ menyuruh orang lain untuk mengambilnya, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu meminta benang tenun dari seorang umat biasa yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya dan juga tidak memberikan Pavarana kemudian menyuruh memintal benang tenun tersebut menjadi sebuah jubah, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
7. Jika seorang umat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dan juga tidak memberikan Pavarana, menyuruh orang lain memintal sebuah jubah untuk seorang Bhikkhu, dan kemudian Bhikkhu ini mengatakan pada tukang pintal itu bila ia mengerjakannya buatlah yang lebih bagus, dan Bhikkhu akan memberikan hadiah tertentu, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
8. Jika selama sepuluh hari sebelum Pavarana seorang dayaka memberikan sehelai kain untuk Vassa, maka seorang Bhikkhu boleh menerimanya dan menyimpannya, jika ia menyimpannya lebih dari waktu yang disebut 'waktu jubah' maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu ingin menjalani musim Vassa di suatu tempat dalam hutan yang terpencil dan ingin menyimpan salah satu dari jubah utamanya di sebuah rumah yang terpisah darl tempat tinggal di mana ia menjalani Vassa itu, dia boleh berbuat demikian paling lama 6 malam dan harus disertai dengan alasan yang cukup. Jika ia menyimpan jubah utamanya di sana lebih dari 6 malam tanpa seizin Sangha, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu menyuruh secara sengaja seorang untuk memberikan hadiah kepadanya yang sebetulnya diperuntukkan bagi Sangha, maka ia melakukan Nisaggiya Pacittiya.

SEMBILAN PULUH DUA PACITTIYA.

Dibagi menjadi (9) kelompok.

KELOMPOK PERTAMA : MUSAVADAVAGGA - Mengenai perkataan yang tidak benar.

1. Jika seorang Bhikkhu berdusta/berbohong maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu berbicara dengan kata-kata kasar dan tidak sopan kepada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang bhikkhu menjelek-jelekkan bhikkhu yang lain, ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang bhikkhu mengajar Dhamma kepada seorang biasa (yang bukan bhikkhu) dengan mengulangi kata demi kata, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang bhikkhu tidur dengan seorang biasa (yang bukan bhikkhu) di suatu tempat yang ada dinding yang mengelilinginya dan di bawah atap yang sama, selama lebih dari 3 malam, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang bhikkhu tidur di bawah satu atap bersama seorang wanita, sekalipun hanya semalam, ia telah melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang bhikkhu mengajarkan Dhamma kepada seorang wanita, dan berbicara lebih dari enam kata, dia melakukan Pacittiya. Kecuali ada orang laki-laki yang hadir dan mengikuti apa yang dibicarakan.
8. Jika seorang bhikkhu berbicara, bahwa ia telah mencapai tingkat-tingkat di atas manusia biasa (Uttarimanusa-dhamma) yang kenyataannya memang demikian kepada seorang biasa (yang bukan bhikkhu) dia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang bhikkhu memberitahukan kepada seorang biasa (bukan bhikkhu) tentang apatti yang berat dari bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang bhikkhu menggali tanah atau menyuruh pada orang lain untuk menggali tanah, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE DUA : BHUTAGAMAGGA - Mengenai Tumbuh-tumbuhan.

1. Jika seorang bhikkhu memetik dari bagian manapun dari suatu tumbuh- tumbuhan hingga lepas dari tempat tumbuh maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang bhikkhu bersikap secara tidak pantas dan sopan, lalu Sangha memanggilnya untuk dimintakan pertanggungan jawab, tapi ia menjawab secara menghindar atau tidak mau menjawab sama sekali, dan Sangha lalu mengumumkan Kammavaca, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang bhikkhu merendahkan seorang bhikkhu yang lain yang telah ditunjuk oleh Sangha untuk menjalankan tugas-tugas Sangha, dan jika bhikkhu tersebut ternyata dapat menjalankan tugasnya dengan baik, dan penghinaannyapun tidak mempunyai dasar, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang bhikkhu mengambil tempat tidur, bangku, kasur, kursi kepunyaan Sangha dan meletakkannya di tempat terbuka dan kemudian dia terus pergi tanpa mengembalikan/dia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertugas mengurus barang-barang tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang bhikkhu mengambil perlengkapan untuk tidur kepunyaan Sangha, dan menempatkannya di sebuah gubuk milik Sangha, kemudian pergi tanpa mengembalikan perlengkapan-perlengkapan tersebut, atau pun dia pergi tanpa memberitahukan kepada bhikkhu yang bertanggung jawab atas peralatan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang bhikkhu yang mengetahui bahwa sebuah gubuk telah didiami oleh bhikkhu yang lain yang datang lebih dahulu, lalu secara sengaja berbaring di situ dengan harapan supaya bhikkhu yang lain itu berlalu karena melihat tak ada ruang/tempat lain, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang bhikkhu merasa tidak senang dan marah kepada bhikkhu yang lain lalu menyeret, mendorong atau mengusirnya keluar dari gubuk milik Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang bhikkhu dengan tidak mengindahkan tubuhnya, (berat tubuhnya) duduk di atas tempat tidur yang kakinya tidak begitu kokoh, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu bermaksud memperoleh tanah liat untuk melapis atap sebuah gubuk, dia harus melapis atap itu setebal tiga lapis saja. Bila ia melapis lebih dari jumlah tersebut di atas, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang bhikkhu mengetahui akan adanya makhluk-makhluk hidup dalam suatu tempat yang bisa diisi air lalu menuangkannya di atas tanah atau rumput, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE TIGA : OVADAVAGGA - Kelompok mengenai cara mengajar.

1. Jika seorang Bhikkhu mengajar para Bhikkhuni tanpa memperoleh izin dari Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Sekalipun memperoleh izin dari Sangha, apabila seorang Bhikkhu mengajar Bhikkhuni setelah matahari terbenam, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu yang pergi mengunjungi tempat tinggal Bhikkhuni, kecuali ada seorang Bhikkhuni yang sakit, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu merendahkan Bhikkhu lain dengan mengatakan bahwa Bhikkhu tersebut mengajar para Bhikkhuni sebab dia mengharapkan hadiah, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu memberikan jubah kepada seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya, kecuali bila atas dasar tukar menukar, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu menjahit Jubah seorang Bhikkhuni yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengannya, ataupun menyuruh orang lain untuk menjahit jubah Bhikkhuni tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu meminta seorang Bhikkhuni menemaninya di suatu perjalanan akhir sebuah desa, kecuali bila jalan yang akan ditempuh berbahaya, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika scorang Bhikkhu mengajar seorang Bhikkhuni naik perahu dengannya bepergian ke hulu/hilir sungai, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu makan makanan yang diperoleh seorang Bhikkhuni dengan jalan memaksa umat biasa untuk memberinya, kecuali bila umat biasa tersebut telah berniat untuk memberikan makanan kepada Bhikkhu tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu duduk/berbaring di suatu tempat terpencil dengan seorang wanita, tanpa ada orang lain hadir, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE EMPAT : BHOJANAVAGGA - mengenai makanan.

1. Kecuali jika seorang bhikkhu sedang sakit, dia diperbolehkan makah sekali untuk sehari saja di tempat makan umum di mana makanan disediakan kepada siapa saja tanpa ada keistimewaan.
Untuk ini dia harus berpantang makan di tempat tersebut, sedikit-dikitnya sehari dan kemudian boleh makan lagi di sana. Jika ia makan di sana selama 2 hari/lebih berturut-turut, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Dayaka mengundang seorang bhikkhu untuk makan salah satu dari lima macan makanan, nasi, kue, ikan atau daging, dan jika empat orang Bhikkhu atau lebih pergi menerima undangan itu/memakannya di sana, maka ia melakukan Pacittiya. Terkecuali
1. sedang sakit,
2. waktu jubah,
3. waktu membuat jubah,
4. sedang menempuh perjalanan jauh,
5. sedang bepergian dengan kapal,
6. jika banyak Bhikkhu yang Pindapata, sehingga makanannya tak cukup untuk dimakan.
7. makanan yang diberikan oleh petapa.
3. Jika seorang Bhikkhu diundang untuk makan di suatu tempat tertentu tetapi bukannya pergi menerima undangan tersebut, melainkan pergi menerima di tempat lain, maka ia melakukan Pacittiya.
Kecuali yaitu bila sebelumnya, dia menyampaikan undangan tersebut kepada Bhikkhu lain yang akan pergi sebagai gantinya, atau ia sedang sakit, atau pula bila waktu tersebut merupakan waktu untuk membuat jubah.
4. Jika seorang Bhikkhu pergi Pindapata ke sebuah rumah dan seorang umat awam memberikan sejumlah besar makanan, dia diperbolehkan menerimanya, hingga tiga mangkok penuh.
Jika ia menerimanya lebih dari jumlah tersebut, maka ia melakukan Pacittiya. (makanan yang diterimanyapun harus dibagi-bagikan kepada Bhikkhu yang lain).
5. Jika seorang Bhikkhu telah makan di suatu tempat tertentu dan kemudian masih menerima undangan untuk makan dan ditolaknya, dan kemudian ia pergi dari tempat itu untuk makan di tempat lain yang belum dimakan oleh seorang Bhikkhu yang sakit, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu mengetahui bahwa Bhikkhu yang lain telah menolak undangan makan (karena mematuhi peraturan) yang di atas dan keinginan mencari kesalahan Bhikkhu yang jujur itu, lalu makan yang belum dimakan oleh seorang Bhikkhu yang sakit dan juga mengajak Bhikkhu yang jujur itu untuk ikut makan dan jika ia berhasil dalam usahanya itu, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu makan diluar jangka waktu yang telah ditentukan yaitu dari tengah hari hingga fajar pada keesokan harinya, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu makan makanan yang telah diberikan kepadanya/ secara langsung diterima dengan tangannya sendiri/Bhikkhu lain, pada hari sebelumnya, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu meminta makanan-makanan dari salah satu makanan berikut ini, nasi, mentega, minyak, madu, air jeruk, ikan, daging, susu sapi, dari seorang umat awam yang tidak mempunyai kekeluargaan/tidak memberikan Pavarana dan jika ia menerima dan memakannya, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu makan makanan dari seorang umat awam, tanpa menyerahkannya secara langsung ke tangannya/kepada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
Kecuali air murni/air hujan yang belum dimasak serta tusuk gigi.

KELOMPOK KE LIMA : ACELAKAVAGGA - Mengenai petapa telanjang.

1. Jika seorang Bhikkhu memberikan makan kepada orang lain dengan tangannya sendiri, sedang orang itu ditabiskan dalam agama yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengajak Bhikkhu lain pergi Pindapata dengannya, karena keinginan untuk berbuat sesuatu yang tidak pantas lalu mengusir Bhikkhu lain itu, maka ia rnelakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu duduk bersama (bercampur) dengan keluarga yang sedang makan, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu duduk bercakap-cakap dengan seorang wanita di suatu tempat/ruangan tanpa ada seorang laki-laki yang hadir, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu duduk di suatu tempat terbuka dengan seorang wanita dan hanya mereka berdua, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu telah menerima undangan untuk makan di suatu tempat dan mau pergi ke tempat yang lain, baik sebelum/sesudahnya makan di tempat tersebut, dia harus memberitahukan kepada bhikkhu lain yang bertugas dalam hal ini dimana ia bertinggal, jika ia tidak memberitahukan, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang awam memberikan Pavarana mengenai empat macam kebutuhan, seorang Bhikkhu diperbolehkan meminta kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam jangka waktu empat bulan terhitung dari saat tawaran tersebut diumumkan, jika ia minta barang-barang kebutuhan tersebut setelah empat bulan berlalu, kecuali bila tawarannya diperpanjang untuk seumur hidup, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu melihat sepasukan tentara yang berbaris menyiapkan diri untuk berperang, kecuali bila ada alasan yang kuat, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Seandainya ada alasan kuat yang mendesaknya untuk pergi tinggal bersama tentara, ia diperbolehkan tinggal selama tiga hari, lebih dari itu ia melakukan Pacittiya.
10. Selagi tinggal bersama tentara bila ia pergi melihat pertempuran, melihat mereka berlatih, melihat mereka untuk berperang/melihat tentara berbaris dan bersiap-siap untuk berperang, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE ENAM : SURAPANAVAGGA - mengenai minuman keras.

1. Jika seorang Bhikkhu minum minuman keras yang memabukkan, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengkritik Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu berenang di air untuk bersenang-senang, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu menunjukkan sifat/memperlihatkan keras kepala akan pelaksanaan Vinaya, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu menakut-nakuti bhikkhu yang lain, membuatnya takut pada hantu, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu tidak menderita sesuatu demam menyalakan api dan menyuruh orang lain untuk menyalakan api untuk maksud menghangatkan tubuhnya, maka ia melakukan Pacittiya. Jika menyalakan api baik tidak merupakan pelanggaran.
7. Jika seorang Bhikkhu tinggal di Majjhima desa (tempat yang terletak di propinsi tengah di India yang sulit airnya) dia diperbolehkan mandi setiap lima belas hari saja. Jika ia mandi lebih dari jangka waktu tersebut, kecuali dalam soal-soal yang penting/mendesak, maka ia melakukan Pacittiya. Di negara-negara lain diperbolehkan mandi tanpa ada pelanggaran.
8. Jika seorang Bhikkhu baru saja memperoleh kain jubah yang baru, dia harus memberi tanda pada kain tersebut dari salah satu 3 warna yang diizinkan sebelum memakai kain yang berwarna yang diperbolehkan meliputi : biru, coklat tua atau warna lumpur. Jika tidak memberikan tanda sebelum mempergunakan maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu menggabungkan sebuah jubah/yang lebih dari ketentuan dengan Samanera yang lain/Bhikkhu, lalu memakainya tanpa setahu kawan/yang menggabungkan tersebut/tanpa memberikan izin memakainya, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu menyembunyikan salah satu milik Bhikkhu yang lain, berupa mangkok, jubah, kain untuk duduk, jarum, ikat pinggang sekalipun untuk bermain-main, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE TUJUH : SAPPANAVAGGA - Mengenai makhluk-makhluk Hidup.

1. Jika seorang Bhikkhu membunuh dengan sengaja makhluk hidup apapun, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengetahui ada makhluk-makhluk hidup di dalam air, tetap mempergunakan air itu, dalam mangkuk/gelas, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu telah mengetahui bahwa sesuatu pasal yang sah dalam Sangha telah diselesaikan dan dirundingkan dengan teliti lalu membicarakannya lagi untuk dirundingkan kembali, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu mengetahui akan suatu apatti yang berat bagi seorang bhikkhu yang lain, dan lalu menyembunyikannya, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu secara sadar bertindak sebagai seorang Upajjhaya di dalam suatu Upasampada dari seorang pemuda yang belum berusia dua puluh tahun, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu secara sadar mengajak seorang pedagang yang menghindari pemungutan bea dan cukai/seperti penyelundup untuk menempuh suatu perjalanan bersama sekalipun hanya sejauh sejarak desa kecil, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu membujuk seorang wanita untuk menempuh suatu perjalanan, dengan bersama-sama sekalipun hanya sejauh sejarak desa kecil, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan sesuatu khotbah dari Sang Buddha, dan kemudian Bhikkhu-Bhikkhu yang lain melarangnya berbuat demikian, tetapi dia tetap tidak mau mempedulikannya, dan jika Sangha mengumumkan Kammavaca sebanyak 3X, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu bergaul rapat dengan Bhikkhu semacam itu/ nomor 8, yang berarti mereka makan sama-sama menjalankan Uposatham Sanghakamma sama, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu bergaul rapat dengan seorang Samanera yang telah dicela oleh Bhikkhu lain karena Samanera tersebut telah membicarakan hal-hal yang bertentangan dengan Dhammadesana Sang Buddha, maka ia melakukan Pacittiya. (bergaul secara rapat di sini berarti Sang Bhikkhu menyuruh Samanera semua tugas-tugasnya/Upathaka = makan bersama ataupun tidur bersama, maka ia melakukan Pacittiya).

KELOMPOK KE DELAPAN : SAHADHAMMIKAVAGGA - Mengenai hal yang sesuai dengan Dhamma

1. Jika seorang Bhikkhu mempunyai tingkah laku yang salah dan seorang Bhikkhu lain mengingatkannya tetapi ia tak mau menerima peringatan dengan menunda-nunda, dengan mengatakan bahwa ia harus lebih dahulu menanya seseorang lain yang ahli dalam Vinaya sebelum dia menerima peringatan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
Biasanya seorang bhikkhu yang masih di bawah bimbingan, bila menemukan sesuatu yang tidak diketahui, padahal harus diketahuinya, dia harus segera menanyakan hal tersebut kepada Bhikkhu yang lain yang ahli Vinaya.
2. Jika seorang Bhikkhu mengucapkan kata-kata yang terlalu berat dan tidak ada gunanya peraturan-peraturan yang dalam Patimokha pada saat Bhikkhu lain sedang membacakan peraturan-peraturan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
3. Jika seorang Bhikkhu terbukti melakukan apatti; tetapi pada saat membacakan Patimokha pura-pura berkata: "baru sekarang ini saya mengetahui apa bila ada peraturan sedemikian itu dalam Patimokha" dan jika Bhikkhu yang lain mengetahui peraturan tersebut, maka ia segera mengumumkan ini, ternyata ia masih pura-pura tidak tahu lagi, maka ia melakukan Pacittiya.
4. Jika seorang Bhikkhu yang merasa marah, lalu memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu yang merasa seolah-olah mau memukul Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu tidak berdasarkan bukti yang kuat menuduh seorang Bhikkhu lain melakukan Sanghadisesa, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu dengan sengaja menimbulkan kekuatiran/kecemasan pada Bhikkhu yang lain, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika sekelompok Bhikkhu sedang bertengkar, lalu seorang Bhikkhu pergi mendengarnya dengan diam-diam apa yang sedang mereka perdebatkan dengan maksud untuk mengetahui apa yang mereka katakan, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu telah menyetujui dan bersedia memegang peranan dalam suatu pengumuman resmi Sangha yang sesuai dengan Dhamma, tapi kemudian berbalik dan malahan mengkritik dan mencela Sangha yang menginginkan pengumuman resmi tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
10. Bila Sangha mengadakan pertemuan membicarakan suatu pokok persoalan dan jika seorang Bhikkhu yang hadir dalam pertemuan tersebut meninggalkan pertemuan sebelum pokok persoalan itu diselesaikan, atau pula tanpa memberikan pendapat (suaranya) sebelum meninggalkan pertemuan tersebut, maka ia melakukan Pacittiya.
11. Jika seorang Bhikkhu bersama-sama Bhikkhu yang lain, membentuk suatu kelompok yang menyetujui akan memberikan sebuah jubah sebagai hadiah Bhikkhu yang lain dan kemudian berbalik mencela dan mengkritik Bhikkhu-bhikkhu lain dalam kelompok itu dengan mengatakan: "mereka memberikan jubah dengan suatu maksud", maka ia melakukan suatu Pacittiya.
12. Jika seorang Bhikkhu sengaja mengatur pemberian hadiah kepada seorang yang lain, sedang dayaka tersebut akan memberikan hadiah itu untuk Sangha, maka ia melakukan Pacittiya.

KELOMPOK KE SEMBILAN: RATANAVAGGA - Mengenai kekayaan.

1. Jika seorang Bhikkhu tanpa terlebih dahulu mendapat izin memasuki suatu ruangan dimana seorang Raja dan para pengiringnya berada di dalamnya, maka ia melakukan Pacittiya.
2. Jika seorang Bhikkhu melihat barang-barang kepunyaan seorang umat awam yang tercecer di atas tanah lalu mengambilnya dan menyimpannya untuk dirinya sendiri ataupun dia menyuruh orang lain untuk memungutnya, maka ia melakukan Pacittiya.
Kecuali bila barang tersebut jatuh di dalam lingkungan Vihara atau di tempat dia tinggal, dia harus memungut dan menyimpan untuk dikembalikan kepada si pemiliknya. Bila ia tidak menyimpannya dan membiarkan barang tersebut di situ, maka ia melakukan Dukkata.
3. Jika seorang Bhikkhu tanpa terlebih dahulu memberitahukan kepada Bhikkhu yang lain yang tinggal di vihara atau di tempat yang sama, pergi ke suatu tempat dimana ada umat awam tinggal, maka ia melakukan Pacittiya. Kecuali ada urusan yang tiba-tiba dan sangat mendesak hingga ia harus pergi dengan segera.
4. Jika seorang Bhikkhu membuat sendiri/meminta dibuatkan sebuah tempat penyimpanan jarum yang terbuat dari tulang, gading/tanduk binatang lainnya, maka ia melakukan Pacittiya.
5. Jika seorang Bhikkhu ingin mempergunakan sebuah tempat tidur/bangku harus diperhatikan bahwa tingginya tidak boleh lebih dari delapan sugata (sembilan inci)/22 ½ cm, jika tinggi kakinya melebihi ini maka ia melakukan Pacittiya.
6. Jika seorang Bhikkhu memiliki sebuah tempat tidur atau bangku yang dilapisi kapuk, maka ia melakukan Pacittiya.
7. Jika seorang Bhikkhu membuat kain tempat duduk/nisidana harus diperhatikan bahwa ukurannya adalah sebagai berikut : panjang dua sugata, lebar 1 ½ sugata dan mempunyai sisi sebagai batasnya satu sugata. Jika ukurannya melebihi ukuran yang telah ditentukan, maka ia melakukan Pacittiya.
8. Jika seorang Bhikkhu membuat kain untuk menutupi luka, harus diperhatikan bahwa ukurannya sebagai berikut : panjang empat sugata, lebar dua sugata, jika dibuat lebih dari yang telah ditentukan, maka ia melakukan Pacittiya.
9. Jika seorang Bhikkhu membuat kain untuk mandi selama musim vassa/ hujan harus diperhatikan bahwa ukurannya sebagai berikut : panjang enam sugata, lebar dua setengah sugata. Jika ia membuat yang melebihi ukuran yang telah ditentukan maka ia melakukan Pacittiya.
10. Jika seorang Bhikkhu membuat jubah yang lebih besar dari ukuran yang telah ditentukan, maka ia telah melakukan Pacittiya. Ukuran panjang sebenarnya sembilan sugata dan lebar enam sugata.

EMPAT PATIDESANIYA.

1. Jika seorang Bhikkhu menerima makanan dengan secara langsung dengan tangannya sendiri dari seorang Bhikkhuni yang tak mempunyai hubungan kekeluargaan dengannya, maka ia melakukan Patidesaniya.
2. Jika sekelompok Bhikkhu sedang makan makanan di suatu tempat di mana mereka diundang, kemudian seorang Bhikkhuni muncul dan memerintahkan memindahkan makanan itu dari tempat ke tempat lain, maka ia harus memerintahkan pada Bhikkhuni tersebut untuk menghentikan tindakan itu. Bila mereka tak melakukan hal ini, maka ia melakukan Patidesaniya.
3. Jika seorang Bhikkhu yang tidak sakit dan juga tidak diundang menerima makanan dari satu keluarga yang dianggap oleh Sangha sebagai SEKHA (telah mencapai tingkat kesucian tertentu)/ariya, tapi masih di bawah latihan dan makan makanan yang diberikan, maka ia melakukan Patidesaniya.
4. Jika seorang Bhikkhu tinggal di suatu hutan lebat dan ia tidak sakit dan ia tak menerima makanan dengan tangannya sendiri dari seseorang pembantunya dan memakannya tanpa memberitahukan dahulu bahwa ia akan datang dan tanpa terlebih dahulu si pembantu tersebut, mengetahui keadaan tempatnya, maka ia melakukan Patidesaniya.

75 SEKHIYA VATTA - peraturan untuk melatih diri.

Latihan yang harus dilaksanakan oleh para Bhikkhu untuk melatih diri disebut Sekhiya - vatta.
Sekhiya vatta ini terdiri dari 4 kelompok.
Kelompok pertama disebut Saruppa - mengenai sikap tingkah laku yang tepat.
Kelompok kedua disebut Bhojanapatisamyuta - mengenai makanan.
Kelompok ketiga disebut Dhammadesana-patisamyuta - mengenai cara mengajarkan Dhamma.
Kelompok keempat disebut Pakinnaka - mengenai berbagai peraturan.

KELOMPOK PERTAMA : SARUPPA - mengenai sikap tingkah laku yang tepat.

1. Saya akan mengenakan jubah dalam secara rapih.
2. Saya akan mengenakan jubah luar secara rapih.
3. Saya menutupi jubah saya dengan rapi, bila pergi ke tempat masyarakat umum.
4. Saya menutupi tubuh saya dengan rapi, bila duduk, di tempat masyarakat umum.
5. Saya mengendalikan segala gerakan-gerakan tubuh saya dengan hati-hati sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
6. Saya mengendalikan segala gerakan tubuh saya sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
7. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
8. Saya akan menjaga arah pandangan mata saya ke arah bawah selalu sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
9. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas sewaktu pergi ke tempat suatu masyarakat umum.
10. Saya tidak akan menyingsingkan jubah ke atas, sewaktu duduk di tempat suatu masyarakat umum.
11. Saya takkan tertawa dengan keras, sewaktu pergi ke tempat masyarakat umum.
12. Saya tak tertawa dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
13. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu pergi ke tempat umum.
14. Saya takkan bicara dengan keras, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
15. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu pergi ke tempat umum.
16. Saya takkan menggoyang-goyangkan tubuh saya, sewaktu duduk di tempat umum.
17. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan sewaktu ke tempat masyarakat umum.
18. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
19. Saya takkan menggoyang-goyangkan kepala, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
20. Saya takkan menggoyang-goyangkan lengan saya, sewaktu duduk bersama di tempat umum.
21. Saya tak bertolak pinggang, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
22. Saya takkan bertolak pinggang, sewaktu ke tempat umum.
23. Saya takkan menutupi kepala saya dengan kain, sewaktu ke tempat masyarakat umum.
24. Saya takkan menutupi kepala saya, sewaktu duduk di tempat masyarakat umum.
25. Saya takkan berjalan berjingkat-jingkat sewaktu berjalan di tempat masyarakat umum.
26. Saya takkan memeluk lutut sewaktu duduk bersama masyarakat umum.

KELOMPOK KEDUA : BHOJANAPATISAMYUTA - mengenai peraturan.

1. Saya akan menerima makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
2. Pada waktu menerima makanan pindapatta, saya akan melihat ke arah mangkok pindapata saja.
3. Saya akan menerima lauk pauk dalam jumlah yang sesuai dengan nasi yang saya terima.
4. Saya akan menerima makanan sesuai dengan mangkok saya/tidak berlebih-lebihan sehingga tumpah.
5. Saya akan makan makanan pindapata dengan hati-hati dan penuh perhatian.
6. Saya akan melihat mangkok saya sendiri sewaktu makan.
7. Saya akan makan makanan pindapata dengan merata.
8. Saya akan makan lauk pauk berimbang dengan nasi.
9. Saya takkan mengambil makanan/nasi dari atas ke bawah.
10. Saya takkan menyembunyikan lauk pauk di bawah nasi dengan maksud untuk mendapat lebih banyak.
11. Saya takkan meminta nasi atau lauk pauk untuk kepentingan diri sendiri kecuali sedang sakit.
12. Saya tidak akan melihat dengan iri hati pada mangkuk orang lain.
13. Saya takkan membuat sebuah suapan yang besar.
14. Saya akan membuat sebuah suapan yang bulat.
15. Saya takkan membuka mulut saya sebelum suapan makanan dekat sekali dengan mulut.
16. Saya takkan memasuki jari tangan saya ke dalam mulut sewaktu menyuap makanan.
17. Saya takkan bicara dengan mulut penuh makanan.
18. Saya takkan makan dengan melemparkan makanan ke dalam mulut.
19. Saya takkan makan dengan menggigit-gigit bongkahan nasi.
20. Saya takkan makan dengan menggembungkan pipi.
21. Saya takkan menggoyang-goyangkan tangan pada saat sedang makan.
22. Saya takkan menjatuhkan/menghambur-hamburkan butir-butir nasi di waktu makan.
23. Saya takkan menjulurkan lidah selagi makan.
24. Saya takkan menimbulkan bunyi kecap selama sedang makan.
25. Saya takkan makan dengan menimbulkan bunyi seolah-olah mengisap (karena berkuah).
26. Saya takkan menjilat tangan sewaktu makan.
27. Saya takkan mengeruk dasar mangkok dengan jari-jari tangan, untuk menimbulkan kesan sudah hampir habis makan.
28. Saya takkan menjilat bibir sewaktu makan.
29. Saya takkan membuang air pencuci mangkok, yang berisi butir nasi di daerah yang ada penduduknya.
30. Saya takkan menerima mangkok dari barang pecah belah/yang berisi minuman selagi tangan kotor dengan makanan.

KELOMPOK KETIGA: DHAMMADESANAPATISAMYUTA - mengenai cara mengajarkan Dhamma.

Seorang Bhikkhu harus melatih diri mengajarkan Dhamma dengan cara sebagai berikut :
Saya takkan mengajarkan Dhamma kepada, orang yang tak sakit, tatkala :

1. Memegang sebuah payung di tangannya.
2. Memegang sebuah tongkat/pemukul di tangannya.
3. Memegang pisau/senjata tajam di tangannya.
4. Memegang sebuah senjata/apapun di tangannya.
5. Memegang sandal di kakinya.
6. Memegang/memakai sepatu di kakinya.
7. Berada di atas sebuah kendaraan yang sempit sekali.
8. Berbaring di atas tempat tidur.
9. Duduk dengan memeluk lutut.
10. Memakai penutup/ikat kepala/turban.
11. Kepalanya terbungkus.
12. Duduk di atas kursi sedang saya duduk di atas tanah.
13. Duduk di atas tempat duduk yang tinggi sedang saya duduk di tempat yang rendah.
14. Sedang bejalan di depan sedangkan saya berjalan di belakang.
15. Sedang duduk sedang saya berdiri.
16. Sedang berjalan di jalan, sedangkan saya berjalan di luar/di tepi jalan.

KELOMPOK KEEMPAT: PAKINNAKA - aneka macam peraturan.

Seorang Bhikkhu harus melatih diri, sebagai berikut :
Jika saya tidak sakit,

1. Saya tidak akan membuang air besar/air kecil sambil berdiri.
2. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau pun meludah pada tumbuh-tumbuhan.
3. Saya tidak akan membuang air besar, air kecil atau meludah di dalam/ di luar air.

7 ADHIKARANA SAMATHA

Adhikarana Samatha adalah sidang Sangha yang harus dihadiri sekurang-kurangnya oleh 20 orang Bhikkhu, untuk mengadili/memutuskan kesalahan/ pelanggaran yang telah dilakukan oleh seorang Bhikkhu, atau dengan pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha.

1. Penyelesaian Adhikarana tersebut di atas di hadapan Sangha, di hadapan seseorang, di hadapan benda yang bersangkutan dan di hadapan Dhamma.
2. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bahwa seseorang yang telah mencapai Arahat, adalah orang yang penuh kesadaran, agar tak seorang pun menuduhnya melakukan Apatti.
3. Pembacaan pengumuman resmi oleh Sangha bagi seorang Bhikkhu yang sudah sembuh dari sakit jiwa agar tidak seorang pun menuduhnya melakukan Apatti yang mungkin ia lakukan ketika ia masih sakit jiwa.
4. Penyelesaian suatu Apatti sesuai dengan pengakuan yang diberikan oleh si tertuduh yang mengakui secara jujur apa yang telah dilakukannya.
5. Keputusan dibuat sesuai dengan suara terbanyak.
6. Pemberian hukuman kepada orang yang melakukan kesalahan.
7. Pelaksanaan perdamaian antara dua pihak yang berselisih tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelidikan tentang perselisihan itu

(Sumber : Navakovada,
Oleh : HRH The Late Supreme Patriarch Prince Vajirañãnavarorasa,
Alih Bahasa : Bhikkhu Jeto, Penerbit : Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta 1989)

DIPUBLIKASIKKAN KEMBALI OLEH PONINDRA PONIMAN
DENGAN BERBAGAI PEMBENAHAN